Tiba-tiba nama No Pati melintas begitu saja alam benak saya. Mungkin ini baru terjadi dalam rentang waktu 13 tahun sejak kepergiannya.

Sejatinya dia merupakan teman sekolah dari saudara sepupu saya, mulai dari SD hingga SMP di sebuah tempat bernama Tanjung Bunga, di ujung timur Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Begitu memasuki bangku SMA, ternyata kami sekelas sehingga tidak memerlukan waktu lama untuk saling akrab.

Ayahnya, telah almarhum, konon berasal dari Sumba. Sebuah pulau di wilayah NTT. Ibunya, sangat mungkin berasal dari Kalimantan dan bersuku dayak karena memiliki tato bernuansa etnik di sekujur tubuhnya. Entahlah, saya tidak pernah mengkonfirmasikan hal itu kepada No Pati.

Karena bukan berasal dari keturunan Flores, tentu saja penampilan fisik No Pati sedikit berbeda daripada orang Flores pada umumnya. Rambutnya lurus, kulitnya terang dan rupawan. Jika saja dia tinggal di Jakarta, mungkin bakal direkrut oleh agensi modeling.

Tidak banyak yang bisa saya ingat tentang si bungsu dari sekitar enam atau tujuh bersauara itu. Dari sisi prestasi belajar, dia terhitung rata-rata dan tidak terlalu mencolok. Yang saya ingat, dia tipe orang yang tidak senang berkonflik, dan mungkin panjang sabar.

Suatu ketika, sewaktu masih duduk di Kelas I SMA, menjelang ujian Ebtanas para senior kelas III, saya berkonflik dengan seorang teman. Eus Niron namanya. Pasalnya, saya kerap menjadi korban bullying dari rekan tersebut. Awalnya saya mencoba bersabar dan tidak menanggapi ejekannya.

Akan tetapi, suatu ketika, di ujung pekan, menjelang ujian Ebtanas para senior, kekesalan itu tidak bisa saya kendalikan. Sebuah pukulan stright kiri mendarat mulus di wajahnya sehingga membuat dia sempoyongan dan jatuh menimpa deretan kursi yang kami susun di atas meja.

Saya kemudian bersiap mendaratkan tinju susulan sebelum akhirnya No Pati muncul dari arah belakang, menarik tangan saya, kemudian setengah memaksa untuk menjauhi ruangan kelas, menuju ke asrama putra (karena sekolah kami memiliki asrama bagi pelajar yang berasal dari luar kota).

Sesampai di sana, dia meminta saya untuk duduk pada sebuah bangku panjang di depan kamar asrama. Dia coba menenangkan dengan cara meninggalkan saya duduk, sedikit terpekur pada bangku itu seorang diri.

Waktu kemudian bergulir dan kami telah duduk di Kelas II. Saat itu, saya mendapatkan promosi, berkat prestasi di atas kertas, untuk duduk di Kelas B, kemudian nantinya ke kelas A, meninggalan No Pati di Kelas C. Meski begitu, kami tetap bersahabat.

Tapi, waktunya tidak lama. Sekitar bulan Oktober 2001, bertepatan dengan pentabisan Usukup Larantuka, Mgr Frans Kopong Kung, Pr, No Pati dijemput ibunya dari asrama, kemudian hijrah ke Kalimantan untuk menyusul kakaknya.

Kesulitan ekonomi mungkin menjadi alasan utama kepergian anak yatim itu. Sepertinya ibunya yang merupakan petani gurem tidak kuasa membiayai sekolahnya lagi.

Saya tidak sanggup mengantarkan kepergiannya, menumpang KM Sirimau, karena tengah mengikuti perayaan misa pentabisan. Padahal jarak antara gereja dan pelabuhan amat dekat, lebih dekat dari jarak antara Istana Negara dan Tugu Monas.

No Pati kemudian menghilang dari hari-hari saya selanjutnya. Namun, dia kemudian muncul dalam benak saya, akhir-akhir ini.

Apakah dia masih tinggal di Kalimantan, entah di kota apa, saya tidak tahu. Saya berharap kondisinya baik-baik saja. Artikel ini saya dedikasikan untuknya, seorang teman yang sederhana.