Pemerintah Indonesia, siapa pun Presidennya, tersandera dengan kontrakpemerintah-swasta atau  G2B seperti Freeport. Begitu kontrak ditandatangani, Pemerintah kehilangan diskresi untuk mengeksekusi kebijakan yang bertentangan dengan isi kontrak. Kebijakan Pemerintah yang berimplikasi terhadap kontrak tidak bisa diterapkan tanpa persetujuan kedua belah pihak. Ini terjadi karena Pemerintah dan kontraktor berkedudukan sederajat (nebengeordnet) berdasarkan asas ‘staat op gelijke voet al seen privaat person.’

Anda mau bukti?
Tahun 2000, Gus Dur menerbitkan PP No. 13 Tahun 2000 yang mengubal tarif royalti tembaga dan emas menjadi 4% dan 3,75%. Berdasarkan kontrak, Freeport membayar royalti tembaga 3,75% dan emas 1%. Apa kata Freeport? “Kami tidak akan patuh dengan aturan yang menyalahi kontrak.”

Tahun 2009, Presiden SBY mengesahkan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba. Isinya, antara lain, mengubah rezim kontraktual ke lisensi (IUP) dalam industri pertambangan. Pasal 169 UU ini menyatakan Pemerintah menghormati kontrak sampai akhir, tetapi ketentuan kontrak harus disesuaikan selambat-selambatnya 1 (satu) tahun sejak UU ini berlaku. Pasal 170 UU ini mewajibkan kontraktor yang sudah berproduksi melakukan pemurnian selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak UU Minerba berlaku. Apa laku Freeport? Sampai sekarang belum membangun smelter. Ketentuannya belum disesuaikan dengan undang-undang!

Tahun 2012, Pemerintah menerbitkan PP No. 9 Tahun 2012 yang menetapkan kembali tarif royalti tembaga dan emas sebesar 4% dan 3,75%. Apa jawab Freeport? Butuh negosiasi alot hingga Freeport mau tunduk kepada aturan itu. Menurut pejabat KESDM, sampai sekarang realisasinya pun belum ada. Artinya, Freeport masih bayar royalti dengan tarif kontrak.

Tahun 2014, Pemerintah menerbitkan PP No. 1 Tahun 2014. Pasal 112C angka 3 beleid ini menyebutkan bahwa pemegang KK dapat melakukan penjualan mineral ke luar negeri setelah melakukan kegiatan pemurnian. Apa yang terjadi? Freeport sampai sekarang terus dapat mengekspor konsentrat mentah meski belum membangun smelter. Freeport terus melakukan manuver dan ancaman. Jika tidak bisa ekspor mineral, kegiatan pertambangan berhenti. Banyak karyawan yang akan di-PHK. Stabilitas politik terganggu. Penduduk setempat yang bekerja di Freeport akan bergolak. Lagi-lagi pemerintah harus mengalah.

Presiden Jokowi kemudian menerbitkan PP No. 1 Tahun 2017 yang merelaksasi ketentuan terkait syarat ekspor konsentrat. Kontraktor masih boleh melakukan ekspor mineral mentah hingga 5 tahun. Pada saat yang sama, Pemerintah mewajibkan kontraktor harus mengubah rezim Kontrak Karya kepada IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus). Pemerintah juga mewajibkan kontraktor melakukan divestasi hingga 51% pada tahun ke-10 sejak produksi. Apa tanggapan Freeport? “Pemerintah secara sepihak menghentikan kontrak dan mengganti ke IUPK.” Pernyataan bos Freeport tersebut tersiar di berbagai media, dibumbui ancaman untuk menyeret Pemerintah ke arbitrase.

Kesimpulan:
Kontrak G2B (Government to Business) ala Freeport adalah dosa sejarah rezim masa lalu yang harus ditebus oleh generasi kita hari ini. Kontrak ini membuat negara mandul dan tidak berdaulat. Negara kehilangan kuasa untuk menjalankan fungsi kekuasaannya yang menurutk MK mencakup lima aspek yaitu mengadakan kebijakan (beleid), mengurus (bestuursdaad), mengatur (regelendaad), mengelola (beheersdaad), dan mengawasi (toezichthoudensdaad). Kontrak yang durhaka terhadap konstitusi ini tidak boleh lagi ada di alam Indonesia merdeka ini. (Bersambung)

M. Kholid Syeirazi
(Penulis Buku Di Bawah Bendera Asing: Liberalisasi Industri Migas di Indonesia/ Direktur Eksekutif Center for Energy Policy)